Peucicap Aneuk: Warisan Budaya yang Masih Hidup di Tengah Masyarakat Meulaboh

Peucicap, Upacara Kenalkan Rasa Makanan Pada Bayi Khas Masyarakat Aceh

Sumber : https://ik.imagekit.io/goodid/gnfi/uploads/articles/large shutterstock-1441909322-8332bb55e7867cc6e5667d084425eb9d.jpg?tr=w-768,h-576,fo-center 

    Pada bulan Mei 2025, kami melakukan kunjungan langsung terhadap tradisi Peucicap Aneuk di wilayah Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat. kunjungan dilakukan di beberapa gampong, seperti Gampong Cot Seumeureung dan Gampong Suak Raya, dengan mewawancarai tokoh masyarakat, orang tua, dan keluarga yang pernah melaksanakan tradisi tersebut. Tradisi Peucicap Aneuk merupakan prosesi adat mencicipkan makanan pertama kepada bayi sebagai tanda dimulainya fase baru dalam pertumbuhan, yaitu pengenalan makanan padat. Prosesi ini biasanya dilakukan saat bayi berusia sekitar enam bulan, dengan melibatkan bahan simbolis seperti madu, kurma, air zam-zam, dan air doa.

    Pelaksanaannya dilakukan dengan suasana sederhana namun penuh makna, dihadiri keluarga, tetangga, dan tokoh agama. Orang yang memberikan makanan pertama biasanya adalah sosok yang dihormati dan dianggap memiliki akhlak baik, sebagai doa agar anak meneladani sifat-sifat tersebut. Tradisi ini kerap disandingkan dengan prosesi cukur rambut (cuko ok) dan turun tanah (peutron aneuk), yang menandai awal keterlibatan bayi dalam kehidupan sosial masyarakat. Dari hasil observasi ini, kami melihat bahwa masyarakat Meulaboh masih menjaga nilai-nilai adat dan spiritual yang kuat dalam setiap fase kehidupan anak.

  Kami mengumpulkan informasi melalui wawancara dan pengamatan di lapangan untuk memahami bagaimana tradisi ini dijalankan dan apa makna yang terkandung di dalamnya. Selain itu, kami juga mencari beberapa sumber tambahan dari internet untuk melengkapi hasil kunjungan kami , agar dapat memperoleh gambaran yang lebih menyeluruh tentang tradisi ini di tengah masyarakat Aceh saat ini.

    Untuk menjalankan observasi ini, kami terlebih dahulu menentukan lokasi yang masih menjalankan tradisi Peucicap Aneuk, yaitu beberapa gampong di Meulaboh. Setelah itu, kami mengatur waktu untuk melakukan wawancara langsung dengan tokoh masyarakat, orang tua, dan keluarga yang pernah melaksanakan tradisi tersebut. Wawancara dilakukan secara santai dan terbuka agar informasi yang diperoleh lebih mendalam dan jujur.

    Selain wawancara, kami juga mencatat proses dan rangkaian kegiatan yang dijelaskan oleh narasumber, mulai dari pemilihan bahan makanan, pemimpin prosesi, hingga makna simbolis di balik setiap tahap. Di luar kegiatan lapangan, kami juga mencari referensi tambahan melalui internet, seperti artikel budaya dan jurnal, untuk memperkuat hasil pengamatan dan membandingkan informasi yang kami dapatkan.

    Dari hasil observasi dan wawancara yang kami lakukan, kami menemukan bahwa tradisi Peucicap Aneuk masih dipertahankan oleh sebagian masyarakat di Meulaboh, meskipun pelaksanaannya mulai mengalami penyesuaian dengan kondisi zaman. Masyarakat tetap menjaga inti dari tradisi ini, yaitu memberikan makanan pertama kepada bayi sebagai bentuk doa dan harapan, namun kemasannya kini lebih sederhana dan disesuaikan dengan kemampuan masing-masing keluarga. Tradisi ini juga memperlihatkan nilai gotong royong dan kebersamaan, karena umumnya melibatkan keluarga besar dan tetangga sekitar.

    Kami juga menemukan bahwa tradisi ini memiliki nilai spiritual yang kuat, terutama melalui pemilihan orang yang memberi suapan pertama dan bahan makanan yang digunakan. Di balik setiap langkah prosesi, terdapat harapan agar anak tumbuh sehat, berakhlak baik, dan menjadi bagian dari masyarakat yang bermoral. Dari hasil penelusuran di berbagai sumber daring, kami mengetahui bahwa tradisi serupa juga masih ditemukan di beberapa daerah Aceh lainnya, menunjukkan bahwa nilai budaya lokal masih hidup dan dihormati oleh generasi saat ini, meskipun tidak lagi dilakukan secara seragam.

 

Komentar

Postingan Populer